Analisis Tanggung Jawab Negara atas Kematian Anak Akibat Infeksi Cacing
Sarah Kezia, Akbar Nurhadi, Theresia Inggrid, Dr. Rosmalinda SH., LLM
Kasus meninggalnya seorang balita berusia tiga tahun di Sukabumi akibat infeksi cacing gelang seberat satu kilogram menyisakan duka mendalam sekaligus menimbulkan tanda tanya besar mengenai tanggung jawab negara dalam pemenuhan hak kesehatan masyarakat. Peristiwa ini bukan sekadar tragedi medis, melainkan juga tragedi hukum dan sosial. Ia menunjukkan betapa lemahnya sistem deteksi dini gizi buruk di daerah, timpangnya distribusi layanan kesehatan, serta tidak sigapnya aparat pemerintah dalam melaksanakan kewajibannya. Lebih jauh, hambatan administratif berupa ketiadaan kartu identitas dan kepesertaan BPJS semakin memperlambat akses penanganan medis yang pada akhirnya berujung fatal. Pertanyaan mendasar pun muncul: sejauh mana tanggung jawab pemerintah dapat dimintakan dalam kasus semacam ini?
Kejadian ini bermula dari Raya masuk IGD dalam kondisi kritis. Raya tiba di IGD RSUD Syamsudin, Kota Sukabumi, pada 13 Juli 2025 sekitar pukul 20.00 WIB. Saat itu kondisinya sudah tidak sadarkan diri sejak sehari sebelumnya.’Pasien datang dibawa keluarga dan tim pengantar dalam keadaan tidak sadar. Hasil pemeriksaan awal menunjukkan syok atau kekurangan cairan berat,” kata dr.Irfan, Humas sekaligus dokter IGD RSUD Syamsudin,Raya dinyatakan terinfeksi askariasis. Setelah dipindahkan ke ruang PICU, hasil pemeriksaan menunjukkan Raya menderita askariasis, penyakit akibat cacing gelang (Ascaris lumbricoides). “Infeksi bisa terjadi ketika telur cacing tertelan, baik melalui makanan, minuman, maupun tangan yang kotor. Telur akan menetas di usus, lalu berkembang menjadi larva yang bisa menyebar lewat aliran darah ke organ-organ, bahkan otak. Itu sebabnya pasien bisa tidak sadar,” jelas Irfan. Dokter menjelaskan kenapa cacing bisa muncul di hidung Raya.
“Tapi di lain sisi, yang sering kita temukan di paru makanya kenapa cacing bisa keluar lewat saluran nafas kita. Jadi dia merambat naik ke saluran atas ke hidung atau mulut. Kalau kondisi tidak sadar kan cacing dengan leluasa bisa bergerak kemana-mana termasuk ke BAB nya juga, karena banyak sekali cacingnya. Sudah dipastikan sarang utamanya ada di usus,” sambungnya.
Tetapi, pada saat raya dibawa kerumah sakit,dengan kondisi yang sudah sangat kritis bisa dikatakan sudah terlambat dibawa kerumah sakit. Obat yang diberikan tidak bisa bekerja dengan efektif jika melihat kondisi Raya pada saat itu. Dan pada akhirnya karena kondisi Raya sudah tidak memungkinkan untuk diperjuangkan lagi, Raya meninggal dunia tepat pada tanggal 22 Juli 2025 pukul 14.24 WIB
Dengan kejadian yang dialami Raya, secara normatif konstitusi telah memberikan jawaban yang jelas. Pasal 28H UUD 1945 menegaskan hak setiap orang untuk hidup sejahtera, termasuk memperoleh pelayanan kesehatan. Hak ini kemudian diperinci dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, yang menekankan kewajiban negara di berbagai aspek. Pasal 7 ayat (1) menyebutkan bahwa pemerintah harus mengembangkan upaya kesehatan yang merata. Pasal 8 menegaskan tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah dalam penyelenggaraan kewaspadaan dan penanggulangan wabah. Pasal 9 menggariskan kewajiban menciptakan lingkungan sehat, sementara Pasal 10 ayat (1) menegaskan kewajiban penyediaan sumber daya kesehatan yang adil dan merata. Lebih jauh, Pasal 65 secara khusus menekankan pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat, terutama anak-anak sebagai kelompok rentan. Dengan demikian, negara melalui undang-undang dan konstitusi telah mengikat dirinya untuk memastikan bahwa tidak ada seorangpun, terlebih anak-anak, yang terabaikan dalam pemenuhan hak kesehatan.
Tidak kalah penting, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, sebagai perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002, juga menegaskan hal yang sama. Dalam Pasal 44, negara wajib menjamin ketersediaan pelayanan kesehatan dan gizi bagi anak sesuai standar, serta Pasal 59 ayat (1) menyebutkan bahwa pemerintah dan lembaga negara wajib memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, termasuk anak yang mengalami masalah kesehatan.
Dalam konteks ini, Program Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) untuk kecacingan menjadi salah satu bentuk nyata intervensi yang harus digencarkan oleh negara. POPM merupakan program strategis untuk mencegah infeksi cacing yang sangat berdampak terhadap tumbuh kembang anak. Infeksi cacing tidak hanya menyebabkan anemia dan gizi buruk, tetapi juga berdampak langsung pada kemampuan belajar, produktivitas, dan kualitas hidup anak di masa depan.
Namun, program ini belum dijalankan secara merata di seluruh wilayah Indonesia. Ketimpangan akses terhadap POPM, terutama di daerah pelosok dan wilayah dengan infrastruktur kesehatan terbatas, menyebabkan banyak anak luput dari upaya pencegahan ini. Padahal, POPM adalah tindakan sederhana, murah, dan terbukti efektif menurunkan beban penyakit cacingan pada anak. Negara harus memastikan bahwa setiap anak di kota maupun desa, di pulau Jawa maupun luar Jawa mendapatkan akses terhadap obat cacing secara rutin dan terjadwal, sebagai bagian dari kewajiban pelayanan kesehatan dasar.
Kenyataan di lapangan memperlihatkan jurang yang lebar antara norma hukum dan implementasi. Program kesehatan yang tersedia, mulai dari Posyandu, imunisasi, hingga BPJS, kerap tidak berjalan optimal. Di tingkat komunitas, fungsi RT dan Posyandu yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam deteksi dini penyakit menular, pengendalian infeksi parasit, serta penanganan medis darurat. Dalam kasus ini, balita baru mendapatkan perhatian serius ketika kondisinya sudah kritis dan akhirnya tak tertolong meski sempat dirawat di rumah sakit.
Dari perspektif hukum, kondisi tersebut memperlihatkan adanya kelalaian negara dalam menjalankan tanggung jawab konstitusionalnya. Regulasi telah jelas mengikat, tetapi pelaksanaannya tertatih akibat minimnya pengawasan, terbatasnya fasilitas kesehatan di daerah, dan rendahnya sensitivitas birokrasi. Negara seolah berhenti pada level normatif, tanpa menuntaskan implementasi di lapangan.
Kematian balita akibat infeksi cacing gelang ini tidak bisa hanya dilihat sebagai kegagalan medis. Ia adalah kegagalan sistemik: kegagalan pengawasan, kegagalan distribusi layanan kesehatan, dan kegagalan mekanisme administratif. Dengan kata lain, kasus ini adalah potret nyata dari ketidakseriusan negara dalam menghidupkan regulasi yang sudah ada.
Menurut penulis, kasus ini harus dibaca sebagai cermin buram wajah pelayanan kesehatan di Indonesia. Negara tampak rajin melahirkan regulasi, tetapi abai dalam memastikan regulasi itu benar-benar sampai pada masyarakat yang paling membutuhkan. Tragedi ini membuktikan bahwa keberadaan Pasal 7, Pasal 8, hingga Pasal 65 UU Kesehatan, serta Pasal 44 dan 59 UU Perlindungan Anak, hanya akan menjadi kumpulan teks hukum bila tidak ditopang oleh pengawasan ketat dan komitmen implementasi di daerah.
Tragedi ini seharusnya menjadi alarm keras bagi pemerintah pusat maupun daerah. Hak atas kesehatan bukanlah hak yang bisa ditunda atau dinegosiasikan. Negara harus hadir secara nyata, terutama dalam memastikan layanan kesehatan dasar bagi kelompok rentan seperti anak-anak. Pelayanan gizi, sanitasi lingkungan, hingga program deteksi dini penyakit menular tidak boleh lagi bersifat administratif semata, melainkan harus dijalankan sebagai kewajiban moral sekaligus hukum.











