Buku Kusam di Tangan yang Lapar: Ironi Pendidikan di Negeri yang Katanya Merdeka

Avatar photo

NASIONALISME.NET, Babel — Di suatu desa kecil, beberapa orang anak duduk di bangku kayu yang hampir patah. Sebuah buku lusuh di tangannya yang warnanya tak lagi putih. Ia membolak-balik halamannya dengan penuh hati-hati, seolah-olah takut harapannya ikut robek di sela-sela lembaran itu. Sementara itu perutnya terlihat keroncongan, matanya masih menatap papan tulis hitam seperti menatap masa depan yang terasa semakin jauh. Begitulah potret kecil dari pendidikan di suatu negeri yang katanya sudah merdeka. Merdeka dari penjajahan, it’s okay. Tapi belum merdeka dari kemiskinan, ketimpangan, dan juga sistem yang masih memihak kepada mereka yang punya.

Meski Indonesia telah lebih dari 7 dekade merdeka, kemerdekaan sejati belum benar-benar dirasakan oleh semua anak bangsa, terlebih lagi dalam dunia pendidikan dan dibalik slogan “ Merdeka Belajar ’’, realitanya masih banyak anak yang belum benar-benar merdeka dalam belajar.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk miskin pada September tahun 2024 yaitu sebesar 24,06 juta orang atau 8,57 % dan sebanyak 3.170.003 jiwa masuk kedalam dengan kategori miskin ekstrem. Presentase anak tidak sekolah tertinggi berada pada kelompok umur 16-18 tahun, sebesar 19,20 %. Sekitar 730.703 siswa pada lulusan SMP tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah atas. Pada jumlah tersebut, 76% keluarga menyatakan bahwa faktor ekonomi menjadi penyebab yang utama anak mereka tidak dapat untuk melanjutkan pendidikan, sementara 8,7 % anak-anak tersebut harus mencari nafkah untuk membantu orang tua bekerja dalam mencari nafkah dan dikarenakan biaya pendidikan yang tidak sepenuhnya gratis dalam praktiknya. Hal tersebutlah angka partisipasi dalam dunia pendidikan dari keluarga miskin masih jauh tertinggal dibandingkan dari keluarga yang mampu.

Masalah ini tidak hanya soal ekonomi saja, tetapi juga soal stratifikasi sosial yang menempatkan kaum miskin pada posisi yang sulit naik kelas. Akibatnya, muncul suatu siklus kemiskinan struktural yang dalam arti kemiskinan menyebabkan rendahnya pendidikan, dan rendahnya pendidikan akan kembali melahirkan kemiskinan. Anak-anak miskin kehilangan akses terhadap pendidikan yang berkualitas, keterbatasan fasilitas belajar, dan sering kali menghadapi stigma sosial. Akibat jangka panjangnya yaitu ketimpangan sosial yang semakin melebar, kesempatan kerja tidak merata, serta kualitas sumber daya manusia menjadi timpang antara kelas atas dan bawah.

Permasalahan ini mendesak diselesaikan sebab pendidikan sejatinya merupakan jantung peradaban dan menjadi alat pembebasan sosial. Dalam pandangan Pierre Bourdieu, ketimpangan pendidikan disebabkan oleh reproduksi sosial yaitu sistem pendidikan yang secara halus mempertahankan dominasi kelas atas dengan cara meneruskan modal budaya (cultural capital) kepada mereka yang sudah mempunyai privilege. Anak dengan golongan ekonomi kelas bawah, yang tidak punya modal budaya seperti akses literasi, teknologi, maupun lingkungan akademik yang mendukung, akhirnya tertinggal sejak awal.

Selain itu, menurut teori dari Talcott Parsons yaitu Fungsionalisme Struktural yang dimana sekolah seharusnya menjadi sebuah lembaga yang menjalankan fungsi sosialisasi dan pemerataan kesempatan. Namun, jika sistem ini hanya menguntungkan Sebagian kelompok saja, maka fungsi sosialnya gagal. Pendidikan yang timpang tidak lagi menjadi alat integrasi sosial, justru menciptakan disintegrasi sosial yaitu jarak antara yang punya dan yang tidak punya semakin lebar.

Oleh karena itu, urgensi penyelesaian permasalahan pendidikan terhadap kaum miskin bukan hanya soal moral, tetapi soal keberlanjutan bangsa. Tanpa pemerataan pendidikan, Negara Indonesia akan terus berjalan pincang, satu kaki di masa depan, dan satunya lagi tertinggal di kubangan kemiskinan.

Dalam mengatasi permasalahan ini, dibutuhkan langkah-langkah yang konkret serta keberlanjutan. Berdasarkan teori konflik pada Karl Marx, akar ketimpangan terletak pada struktur sosial yang tidak adil. Oleh karena itu, solusi tidaklah cukup dengan memberi bantuan sesaat, akan tetapi harus menyentuh struktur sistem pendidikan dan ekonomi secara langsung.

Beberapa strategi yang dapat dilakukan antara lain yaitu:

Yang pertama yaitu reformasi kebijakan pendidikan yang afirmatif. Selama ini, beasiswa sering diberikan berdasarkan pada prestasi akademik semata yang ironisnya justru lebih mudah diraih oleh anak-anak dari keluarga mampu atau ekonomi kelas menengah ke atas yang sudah memiliki akses terhadap fasilitas belajar yang baik. Oleh karena itu, pemerintah harus memperluas dan memperkuat skema beasiswa berbasis pada kebutuhan, sehingga bantuan pendidikan diberikan pada anak-anak dari keluarga kelas bawah yang secara ekonomi paling rentan. Kebijakan afirmatif seperti ini tidak hanya memberikan akses, tetapi juga memberikan kesempatan yang adil bagi mereka yang selama ini terpinggirkan oleh sistem.

Selain itu, pemerataan kualitas guru dan fasilitas pendidikan menjadi urgensi selanjutnya. Merujuk pada teori fungsi sosial pendidikan oleh Talcott Parsons, sekolah idealnya mampu memainkan peran sebagai suatu lembaga yang menyetarakan kesempatan untuk setiap anak, tanpa harus memandang latar belakang sosial. Namun realitanya, kualitas pendidikan di Indonesia masih sangat bergantung pada letak geografis. Daerah perkotaan memiliki tenaga pengajar berkompeten, akses teknologi, dan sarana belajar yang lengkap, sedangkan daerah yang terpencil permasalahan yang tidak asing lagi kita lihat dan dengar yaitu kekurangan guru, ruang kelas yang rusak, dan fasilitas yang minim. Oleh karena itu, pemerataan perlu menjadi agenda prioritas, baik itu melalui distribusi guru berkualitas, pembangunan sarana, peningkatan pelatihan, serta penyediaan teknologi yang memadai. Pendidikan yang baik bukan hanya menjadi milik kota besar saja, melainkan hak seluruh anak Indonesia.

Terakhir, integrasi pendidikan dengan kesejahteraan ekonomi menjadi kunci agar anak-anak dari keluarga ekonomi kelas bawah tidak harus memilih antara sekolah atau bekerja. Cukup banyak kasus menunjukkan bahwa kemiskinan menjadi alasan utama anak berhenti sekolah. Oleh sebab itu, program pendidikan harus berjalan seiring dengan kebijakan pemberdayaan ekonomi keluarga miskin, misalnya bantuan pangan, akses modal usaha, pelatihan keterampilan dan program perlindungan sosial lainnya. Ketika kebutuhan dasar keluarga terpenuhi, barulah anak-anak memiliki ruang untuk fokus pada pendidikan tanpa dibebani keharusan bekerja untuk membantu orang tua. Integrasi kebijakan ini memastikan bahwa pendidikan tidak berdiri sendiri, melainkan menjadi bagian dari ekosistem kesejahteraan yang lebih luas.

Dengan demikian “ Buku Kusam di Tangan yang Lapar ” bukan hanya sekadar suatu simbol penderitaan. Ia merupakan seruan terhadap nurani bangsa. Ini mengingatkan bahwa kemerdekaan yang sejati tidak berhenti pada upacara 17 Agustus dan bendera yang berkibar, tetapi harus hadir di setiap ruang kelas dan tangan kecil yang menggenggam buku dengan penuh harapan besar. Selama masih ada anak yang belajar dengan perut yang kosong, selama masih ada sekolah tanpa atap dan papan tulis hitam yang usang serta guru tanpa gaji layak, maka kemerdekaan kita belum sepenuhnya selesai.

Pendidikan seharusnya menjadi tangga sosial yang memungkinkan setiap anak memanjat keluar dari penderitaan kemiskinan, bukan cermin yang memantulkan betapa jauhnya jurang antara yang miskin dan yang kaya. Suatu saat nanti, semoga buku itu tak lagi kusam, dan tangan-tangan mungil itu tak lagi lapar. Bukan karena kita berbelas kasihan, tetapi karena kita akhirnya benar-benar adil dalam hal yang paling manusiawi dan paling merdeka untuk semua lapisan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Namun, perubahan itu tidak akan pernah terjadi jika hanya kita serahkan kepada pemerintah atau lembaga tertentu saja. Setiap dari kita tentunya memiliki peran moral dalam memastikan bahwa pendidikan tidak lagi menjadi hak eksklusif bagi mereka yang mampu. Kita bisa memulainya dari hal yang sederhana seperti menyumbangkan buku, menjadi relawan pengajar, membuka ruang belajar kecil di lingkungan sekitar, atau sekadar memastikan bahwa tidak ada anak di sekitar kita yang kehilangan masa depan hanya karena permasalahan ekonomi atau kemiskinan.

Pendidikan merupakan milik kita bersama, dan masa depan negeri ini ditentukan oleh apakah kita peduli atau tidak kepada anak-anak yang hari ini belajar dengan perut lapar dan buku kusam di tangan mereka sendiri. Mari kita berdiri bersama, menjadi suara bagi mereka yang tak terdengar, dan menjadi tangan yang menguatkan mereka yang hampir putus asa.

Karena sesungguhnya, kemerdekaan sejati tidak hanya soal bebas dari penjajahan saja, tetapi bebas dari ketidakadilan, dan itu dimulai dari keberanian kita untuk peduli. Jika pada hari ini kita memilih dalam diam, maka kita ikut membiarkan satu generasi hilang. Tetapi jika hari ini kita bergerak, sekecil apa pun langkahnya, maka kita sedang menyalakan kembali pelita harapan di ruang kelas yang gelap.

Inilah panggilan moral kita bersama, memastikan bahwa tak ada lagi anak yang harus belajar dengan tangan yang lapar serta tidak ada lagi mimpi yang robek di sela-sela halaman buku yang kusam. Mari kita wujudkan pendidikan yang benar-benar merdeka, merdeka dalam arti untuk semua, tanpa terkecuali.

Penulis: Budi Samudra, Mahasiswa Universitas Bangka Belitung