IMPLIKASI TRANSFORMASI DIGITAL PERTANAHAN MELALUI SERTIFIKAT ELEKTRONIK TERHADAP MASYARAKAT
Sophia Lequin, Thomas Poltak Sianturi, Theodora Verina, Dr. Rosmalinda, S.H., LL.M.
Transformasi digital pertanahan melalui penerapan sertifikat elektronik merupakan upaya modernisasi layanan administrasi negara agar lebih efisien, transparan, dan adaptif terhadap perkembangan teknologi. Sertifikat elektronik dirancang memiliki kekuatan hukum yang sama dengan sertifikat fisik, namun dengan tingkat keamanan yang lebih baik. Meski demikian, proses transisi menuju sistem digital ini masih menghadapi sejumlah hambatan, mulai dari keterbatasan infrastruktur, kesenjangan literasi digital, hingga keraguan masyarakat terhadap keaslian dokumen elektronik.
Dasar hukum mengenai sertifikat elektronik pertama kali tercantum dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang ITE. Pengaturan teknis terkait penerapannya kemudian diperjelas melalui Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Di bidang pertanahan, digitalisasi dimulai dengan terbitnya Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 1 Tahun 2021 tentang Sertifikat Elektronik. Namun, untuk memperkuat kepastian hukum serta memperjelas mekanisme teknis, aturan tersebut dicabut dan digantikan oleh Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 3 Tahun 2023 tentang Penerbitan Dokumen Elektronik dalam Pendaftaran Tanah.
Walaupun lebih komprehensif, Permen ATR/BPN Nomor 3 Tahun 2023 masih menyisakan persoalan. Pasal 20 ayat (3), misalnya, memperbolehkan pemberian salinan resmi sertifikat elektronik dalam bentuk fisik bagi masyarakat yang belum dapat mengakses sistem elektronik atau atas permintaan sendiri. Ketentuan ini menunjukkan masih adanya kesenjangan digital yang membuat penerapan sertifikat elektronik belum sepenuhnya murni. Pemerintah tampaknya masih harus menyesuaikan kebijakan agar dapat mengakomodasi seluruh kelompok masyarakat.
Selama ini, sertifikat tanah fisik kerap mengalami masalah seperti kerusakan, kehilangan, atau pemalsuan. Sertifikat elektronik diharapkan menjadi solusi melalui penyimpanan data secara digital yang aman, terenkripsi, dan mudah diverifikasi. Keunggulannya mencakup peningkatan efisiensi administrasi, transparansi, serta kemudahan akses layanan pertanahan. Meski begitu, tantangan tetap muncul, terutama terkait keamanan data, risiko peretasan, serta keterbatasan infrastruktur teknologi—terutama di daerah pedesaan.
Kementerian ATR/BPN menegaskan bahwa sertifikat elektronik merupakan bagian dari pelaksanaan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE). Melalui aplikasi Sentuh Tanahku, masyarakat dapat melakukan pengalihan sertifikat fisik ke versi digital dengan biaya administrasi tertentu. Sertifikat fisik yang telah dialihmediakan kemudian disimpan oleh kantor pertanahan sebagai arsip negara. Program ini secara khusus ditujukan bagi sertifikat yang diterbitkan sebelum sistem administrasi pertanahan modern berkembang, yakni antara tahun 1961 hingga 1997.
Kendati regulasinya cukup jelas, kesiapan masyarakat dan infrastruktur masih menjadi persoalan utama. Pasal 44 Permen ATR/BPN Nomor 3 Tahun 2023 menyatakan bahwa pendaftaran tanah dapat dilakukan secara manual apabila sistem elektronik “terganggu”. Penggunaan istilah yang kurang tegas ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak dijelaskan batasan atau indikator gangguannya. Hal ini menunjukkan bahwa sistem digital belum sepenuhnya siap sehingga pemerintah tetap menyediakan jalur manual sebagai cadangan.
Sejauh ini, implementasi sertifikat elektronik masih berada pada tahap awal. Meskipun pemerintah telah merumuskan kebijakan dan instrumen hukum yang diperlukan, dampaknya bagi masyarakat belum terlihat signifikan karena jumlah sertifikat elektronik yang telah diterbitkan masih terbatas. Evaluasi berkala sangat diperlukan untuk menilai kesiapan infrastruktur digital, kemampuan aparatur pertanahan, serta tingkat literasi masyarakat terhadap layanan elektronik.
Keberhasilan transformasi digital pertanahan bergantung pada kepercayaan publik terhadap keamanan sistem. Masyarakat harus diyakinkan bahwa data tanah mereka terlindungi dari ancaman penyalahgunaan. Untuk itu, pemerintah perlu memperkuat keamanan siber, menerapkan audit berkala, dan memastikan penyelenggara sistem elektronik memenuhi standar keamanan informasi. Di sisi lain, edukasi publik menjadi keharusan agar masyarakat memahami manfaat serta jaminan hukum sertifikat elektronik.
Dari sisi sosial dan ekonomi, sertifikat elektronik memiliki potensi untuk mempercepat pelayanan publik, menekan biaya birokrasi, serta mengurangi praktik korupsi dan mafia tanah karena seluruh proses dapat dilacak secara digital. Namun, kebijakan ini juga berpotensi memperlebar ketimpangan akses bagi masyarakat di daerah terpencil yang tidak memiliki perangkat maupun konektivitas memadai. Oleh karena itu, pemerintah perlu memastikan bahwa program ini bersifat inklusif dan dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.
Dalam jangka panjang, sertifikat tanah elektronik berpotensi memperkuat sistem pertanahan nasional dengan mengurangi sengketa melalui basis data yang tercatat secara digital, aman, dan terintegrasi. Namun untuk mencapainya, diperlukan kesiapan regulasi, kualitas sumber daya manusia, serta infrastruktur yang merata hingga ke pelosok.
Secara keseluruhan, sertifikat tanah elektronik merupakan langkah strategis dalam mewujudkan tata kelola pertanahan yang modern, efisien, dan transparan. Meskipun tantangan implementasi masih besar, terutama pada aspek literasi digital dan infrastruktur, transformasi ini membuka peluang bagi terciptanya sistem layanan pertanahan yang lebih akuntabel dan berkeadilan. Keberhasilan program ini bergantung pada komitmen pemerintah dalam menjamin keamanan data, meningkatkan kesiapan masyarakat, dan memastikan bahwa transformasi digital benar-benar dapat diakses oleh seluruh warga negara.











