NASIONALISME.NET, Papua — Sejak kemerdekaan 1968, Australia menjadi mitra perdagangan dan bantuan utama Nauru, yang semakin ketat pada tahun 2025 saat Nauru “lulus” status penerima ODA Australia namun tetap menerima dukungan fiskal untuk investasi pendidikan dan kesehatan. Sementara itu, investasi Tiongkok menawarkan diversifikasi di tengah persaingan geopolitik, dengan perjanjian Australia mewajibkan konsultasi sebelum kemitraan di sektor penting seperti telekomunikasi dan perbankan untuk membatasi pengaruh Beijing.
Nauru sangat bergantung pada bantuan anggaran langsung dari Australia untuk stabilitas fiskalnya, dengan perjanjian Nauru-Australia Treaty pada Desember 2024 yang menyediakan A$100 juta selama lima tahun mulai 2025 guna mendukung ketahanan ekonomi dan keamanan. Bantuan ini meliputi A$40 juta tambahan untuk kebutuhan polisi dan keamanan, menggantikan sebagian pendapatan dari pusat pengolahan pengungsi Australia yang menyumbang sekitar $135 juta pada 2024-25. Ketergantungan ini muncul karena perekonomian Nauru yang kecil ($150 juta) dan populasi hanya 13.000 jiwa, pasca-kehabisan cadangan fosfat utama.
Tiongkok menawarkan proyek infrastruktur besar di Nauru, termasuk pembangunan kembali Pelabuhan Aiwo yang dimulai tahun 2019 dan selesai tahun 2025 oleh China Harbour Engineering Company, meliputi pelabuhan baru, sistem desalinasi, dan halaman kontainer. Pada Agustus 2025, Nauru menandatangani kesepakatan investasi $1 miliar dengan Tiongkok Rural Revitalization and Development Corporation untuk fase 1, fokus pada energi terbarukan (seperti pembangkit listrik tenaga surya 6 MW), industri fosfat, perikanan, infrastruktur laut, pertanian modern, ekowisata, dan transportasi hijau. Proyek ini bertujuan meningkatkan lapangan kerja, perdagangan, dan pertukaran budaya.
Nauru mengakui ketergantungan ekonomi yang mendalam pada bantuan anggaran Australia. Pemerintah Nauru, di bawah Presiden David Adeang, memposisikan bantuan ini sebagai kebutuhan vital untuk menghindari kegagalan negara. Nauru menerima klausul veto Australia atas sektor kritis sebagai kompromi strategi untuk menjaga aliran dana, meski menimbulkan kritik neokolonialisme secara internal. Sementara itu, Nauru menekankan manfaat pembangunan untuk mengatasi keterbatasan sumber daya, dengan pernyataan pemerintah yang disebut “momentum ekonomi” pasca-pengakuan diplomat ke Tiongkok pada tahun 2024. Namun, Nauru menavigasi ketegangan dengan mematuhi perjanjian konsultasi Australia atas proyek kritis, menunjukkan pendekatan pragmatis untuk memaksimalkan investasi Tiongkok tanpa mengeluarkan bantuan Australia.
Nauru memposisikan dirinya sebagai aktor pragmatis dalam persaingan geopolitik Australia-Tiongkok, memanfaatkan bantuan Australia untuk stabilitas sosial sambil merangkul infrastruktur Tiongkok untuk pertumbuhan ekonomi, yang mencerminkan kebijakan “multi-alignment” di Pasifik.

Penulis: Tasyalina Msen, Mahasiswi Program Studi Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Cenderawasih











