Melanesian Way dan Diplomasi Indonesia di Pasifik: Antara Budaya dan Pengaruh Geopolitik

Avatar photo

NASIONALISME.NET — Kawasan Pasifik Selatan belakangan ini semakin ramai diperbincangkan. Negara-negara kecil seperti Fiji, Papua Nugini, Vanuatu, hingga Kepulauan Solomon kini memegang peran penting di tengah persaingan kekuatan besar dunia, terutama antara Tiongkok, Amerika Serikat, dan Australia. Namun di balik hiruk pikuk geopolitik tersebut, ada sisi lain yang jarang disorot: peran budaya dan identitas Melanesia yang turut membentuk arah politik kawasan. Di sinilah konsep “Melanesian Way” menjadi relevan, bukan sekadar slogan budaya, tetapi pandangan hidup yang menuntun masyarakat dalam mengambil keputusan, membangun relasi sosial, dan menentukan arah politik.

Istilah Melanesian Way pertama kali diperkenalkan oleh Bernard Narokobi, seorang filsuf dan politisi asal Papua Nugini pada 1970-an. Konsep ini lahir dari semangat pasca-kolonial untuk menemukan jati diri yang berbeda dari nilai-nilai individualistik Barat. Melanesian Way menekankan komunalitas, solidaritas, dan musyawarah, serta menolak dominasi ego individu di atas kepentingan bersama. Dalam praktiknya, prinsip ini tidak hanya diterapkan dalam kehidupan sosial, tetapi juga mempengaruhi cara negara-negara Melanesia menyelesaikan konflik dan mengelola hubungan internasional mereka. Diplomasi yang dijalankan umumnya bersifat inklusif, mengutamakan konsensus, serta menghargai keseimbangan antar pihak, mencerminkan semangat kebersamaan yang menjadi dasar masyarakat Melanesia.

Bagi Indonesia, kawasan Melanesia memiliki arti strategis sekaligus emosional. Secara geografis dan etnis, wilayah Papua dan sebagian Maluku termasuk dalam rumpun Melanesia. Ini berarti Indonesia bukanlah pihak luar sepenuhnya dalam percaturan Pasifik Selatan. Kesadaran ini mendorong Indonesia memperkuat hubungan diplomatik dan budaya dengan negara-negara Melanesia melalui berbagai jalur, salah satunya lewat organisasi Melanesian Spearhead Group (MSG). Organisasi ini terdiri atas Papua Nugini, Fiji, Vanuatu, Kepulauan Solomon, dan gerakan politik FLNKS dari Kaledonia Baru, sedangkan Indonesia bergabung sebagai anggota asosiasi sejak 2015. Keikutsertaan ini bertujuan menegaskan bahwa Indonesia adalah bagian dari keluarga besar Melanesia, bukan ancaman terhadap solidaritas kawasan tersebut. Dalam konteks politik luar negeri, langkah ini juga menjadi sarana untuk menyeimbangkan narasi internasional terkait isu Papua yang kerap dibawa oleh beberapa negara Melanesia ke forum global.

Salah satu instrumen penting yang digunakan Indonesia dalam mempererat hubungan dengan negara-negara Melanesia adalah diplomasi budaya. Melalui berbagai kegiatan seperti Festival Seni dan Budaya Melanesia yang pernah digelar di Kupang tahun 2018 dan Jayapura tahun 2023, Indonesia menampilkan keragaman budaya Melanesia yang hidup di wilayahnya, sekaligus menegaskan bahwa identitas Melanesia merupakan bagian integral dari kebudayaan nasional. Pendekatan ini terbukti efektif untuk membangun kedekatan sosial lintas negara. Diplomasi berbasis budaya seperti ini membantu menciptakan hubungan antarmasyarakat (people-to-people relations) yang lebih hangat dibanding sekadar hubungan formal antar pemerintah.

Namun, diplomasi budaya tidak dapat berdiri sendiri tanpa dukungan pembangunan ekonomi dan sosial yang nyata di kawasan timur Indonesia. Negara-negara Melanesia masih menaruh perhatian terhadap isu hak asasi manusia di Papua, dan sebagian menunjukkan sikap kritis terhadap Indonesia. Karena itu, dibutuhkan pendekatan yang lebih terbuka dan empatik, yang tidak hanya menonjolkan pertunjukan budaya tetapi juga menegaskan komitmen pada kesejahteraan dan keadilan sosial bagi masyarakat di kawasan timur. Upaya diplomatik harus sejalan dengan peningkatan kualitas hidup masyarakat Papua agar narasi yang dibangun di tingkat internasional juga mencerminkan kenyataan di lapangan.

Selain faktor budaya, kawasan Pasifik Selatan kini menjadi arena penting dalam kompetisi pengaruh ekonomi global. Negara-negara besar seperti Tiongkok, Amerika Serikat, dan Australia berlomba-lomba memperluas kehadirannya melalui bantuan ekonomi, kerja sama pembangunan, dan investasi infrastruktur. Tiongkok, misalnya, aktif menyalurkan pinjaman lunak dan membangun proyek strategis di Papua Nugini, Tonga, dan Fiji. Sementara itu, Australia dan Selandia Baru berupaya mempertahankan peran tradisionalnya dengan memperkuat aliansi pembangunan dan diplomasi bantuan. Di tengah pusaran ini, Indonesia memiliki peluang unik untuk mengambil posisi sebagai jembatan antara Asia Tenggara dan Melanesia. Dengan kerja sama di bidang perikanan, konservasi laut, pendidikan, dan pertukaran budaya, Indonesia dapat memperkuat kepercayaan politik sekaligus memperdalam kerja sama ekonomi yang saling menguntungkan.

Jika ditelaah lebih dalam, Melanesian Way dapat menjadi fondasi bagi penguatan soft power Indonesia di Pasifik. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya selaras dengan prinsip politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif serta menjunjung tinggi perdamaian dan kedaulatan. Indonesia dapat memanfaatkan kesamaan nilai-nilai ini sebagai jembatan kultural yang mempererat hubungan dengan negara-negara Melanesia. Pendekatan yang berorientasi pada soft power—bukan dominasi ekonomi atau militer—akan menampilkan Indonesia sebagai mitra yang menghormati kearifan lokal, bukan kekuatan yang ingin mengontrol kawasan. Upaya ini bisa diwujudkan dalam bentuk kerja sama pendidikan, beasiswa, pelatihan manajemen bencana, atau pertukaran pengetahuan tentang ekonomi biru yang kini menjadi fokus utama kebijakan maritim Indonesia.

Keterkaitan antara Melanesian Way dan ekonomi biru menjadi relevan karena keduanya sama-sama menekankan harmoni dengan alam. Dalam konteks Pasifik Selatan, laut bukan sekadar sumber ekonomi, melainkan bagian dari identitas dan spiritualitas masyarakat. Indonesia dapat mendorong kerja sama dalam bidang perlindungan ekosistem laut, pengelolaan sumber daya pesisir, dan mitigasi perubahan iklim. Dengan demikian, diplomasi berbasis budaya dapat diperluas menjadi diplomasi ekologis yang berorientasi pada keberlanjutan. Pendekatan ini tidak hanya memperkuat posisi Indonesia di mata negara-negara Melanesia, tetapi juga menunjukkan bahwa Indonesia membawa visi bersama untuk menjaga masa depan kawasan.

Meski demikian, berbagai tantangan tetap membayangi upaya diplomasi Indonesia di kawasan Melanesia. Isu Papua masih menjadi hambatan sensitif dalam hubungan dengan beberapa negara anggota MSG. Indonesia perlu mengubah pendekatan dari defensif menjadi partisipatif, yakni dengan mengajak masyarakat Papua sendiri terlibat aktif dalam forum-forum regional, sehingga perspektif lokal bisa tampil secara autentik. Selain itu, persaingan pengaruh asing antara Tiongkok, Amerika Serikat, dan Australia berpotensi mengaburkan peran Indonesia jika tidak disikapi dengan strategi yang jelas. Indonesia harus memastikan bahwa keterlibatannya di kawasan tidak dipersepsikan sebagai bagian dari perebutan pengaruh global.

Tantangan lain terletak pada kapasitas diplomasi kultural Indonesia sendiri. Diplomasi yang berbasis nilai-nilai lokal memerlukan pemahaman mendalam terhadap budaya dan sistem sosial Melanesia. Oleh karena itu, penting bagi Indonesia untuk melibatkan lebih banyak akademisi, seniman, tokoh adat, dan komunitas lokal dari Papua dalam misi diplomasi. Representasi semacam ini akan memperkaya pendekatan politik luar negeri dengan nuansa yang lebih autentik dan berakar pada realitas sosial masyarakat Melanesia.

Dunia Melanesia pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dari Indonesia—baik secara geografis, historis, maupun budaya. Melalui pemahaman yang mendalam tentang Melanesian Way, Indonesia memiliki kesempatan besar untuk memperkuat diplomasi regionalnya dengan pendekatan yang lebih manusiawi, kolaboratif, dan berorientasi pada nilai-nilai kemanusiaan. Di tengah dunia yang semakin terpolarisasi oleh kepentingan politik dan ekonomi global, diplomasi berbasis budaya dan solidaritas ini dapat menjadi model baru yang lebih seimbang dan berkelanjutan. Masa depan Pasifik Selatan mungkin tidak akan ditentukan oleh siapa yang paling kuat, melainkan oleh siapa yang paling mampu memahami, mendengarkan, dan berjalan bersama—sebuah semangat yang sepenuhnya mencerminkan filosofi Melanesian Way.

Penulis: Merlinda Fraine Hoor, Mahasiswi Program Studi Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Cenderawasih