NASIONALISME.NET, Tangerang — Sejarah pergerakan nasional Indonesia mencatat banyak kaum pendidik, guru, dan pemimpin rakyat. Salah satunya yaitu Otto Iskandardinata. Beliau dilahirkan pada tanggal 31 Maret 1897 di Bojongsoang, Dayeuhkolot, Bandung. Otto menamatkan HIS (Hollandsch Inlande School) di Bandung. Sesudah itu memasuki HKS (Hoogere Kweek School) Sekolah Guru Atas di Purwerejo, Jawa Tengah. Otto bekerja sebagai guru HIS di Banjarnegara, Jawa Tengah, hanya satu tahun ia bertugas di tempat ini. Tahun 1921 ia dipindahkan ke Bandung dan tiga tahun kemudian dipindahkan lagi ke Pekalongan, Jawa Tengah.
Kisah perjuangan Otto Iskandardinata berawal dari ketertarikannya pada isu kebangsaan sejak ia masih menempuh pendidikan di HKS. Meskipun para pelajar dilarang, ia secara diam-diam membaca buku harian yang berjudul “De Express” dengan isi kritikan tajam tentang ketidakadilan dan praktik buruk pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Pergerakan ini kemudian ia terapkan ketika bertugas menjadi guru Muhammadiyah di berbagai tempat.
Pada tahun 1925, saat bertugas di Pekalongan, Otto terjun langsung ke dalam organisasi Boedi Oetomo (BU). Kegiatan nya begitu menonjol yang membuatnya dipilih menjadi anggota gemeenteraad (Dewan Kota) Pekalaongan mewakili BU. Dalam kapasitasnya ini, Otto tidak segan-segan membongkar berbagai praktik korupsi dan kebijak yang merugikan rakyat, yang kemudian memicu perselisihan sengit denfan residen Belanda. Pengaruh Otto sangat besar di Boedi Oetomo, pada tahun 1928, Otto dipindahkan dari Pekalongan ke Jakarta, namun sebelum ia pindah ia sempat memprakarsi pendirian Sekolah Kartini.
Setibanya di Jakarta, Otto melanjutkan peran gandanya sebagai guru Muhammadiyah sekaligus pejuang politik. Ia bergabung dengan Paguyuban Pasundan dan tidak lama kemudian terpilih menjadi ketuanya. Di bawah kepemimpinanya, organisasi ini berkembang pesat, ia berhasil mendirikan sekolah dan bank. Ia juga terpilih menjadi Sekertaris PPKI pada kongres di Surabaya tahun 1932 di bawah pimpinan M.H. Thamrin. Tahun 1930 menjadi yang paling berjaya, karena beliau terpilih menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat) mewakili Paguyuban Pasundan.
Pada forum ini, keberaniannya mencapai puncak, ia berpidato terus terang, meyatakan keyakinan bahwa Indonesia pasti akan merdeka dan memberikan pilihan kepada belanda, mundur secara terhormat atau diusir dengan kekerasan. Ia juga menyampaikan hak suara tiap seseorang itu merupakan hasrat bebas dan alami dari sifat bangsa. Karena sikapnya yang lantang, membuat ia ditarik dari Volksraad.
Selanjutnya pada tahun 1942, ketika Jepang mendarat, Otto menolak tawaran pemerintah Hindia-Belanda untuk mengungsi. Meskipun tidak menyukai pemerintahan Jepang, ini merupakan stategi agar Otto terlibat dalam organisasi bentukan Jepang dengan tujuan mempersiapkan kemerdekaan. Ia sempat duduk sebagai anggota Cou Sangi In sebelum nadan tersebut dibubarkan. Seiring Jepang yang terus mengalami kekalahan perang sejak 1943, mereka mulai menjanjikan kemerdekaan, dan Otto Iskandardinata diikutsertakan dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Jepang akhirnya menyerajh pada 14 Agustus 1945, Otto turut ambil bagian dalam momentum bersejarah. Pada sidang PPKI tanggan 18 Agustus 1945, ia mengajukan usul yang kemudian diterima secara aklamasi, yaitu penetapan Ir. Soekarno sebagai Presiden dan Drs. Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden.
Di masa kemerdekaan awal dengan Kabinet Presidentil, Otto Iskandardinata diangkat Menteri Negara dan aktif dalam Badan Pembantu Prajurit serta membantu pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR), cikal bakal TNI. Namun energi besarnya untuk membangun negara harus terhenti secara tragis. Pada 19 Desember 1945, di tengah perjalanan pulangnya, mobil Otto diberhentikan. Ia diculik dan dibawa oleh sekelompok orang yang menyebur diri mereka dengan nama “Laskar Hitam”. Ia dibawa ke sebuah penjara di wilayah Tangerang, lalu dipindahkan lagi, setelah itu ia hilang tanpa meninggalkan jejak.
Bertahun-tahun kemudian, dari kesaksian-kesaksian yang terputus, sebuah kebenaran yang mengerikan terungkap. Otto Iskandardinata diduga di eksekusi di sebuah pantai sepi di Mauk, Tangerang. Tubuhnya konon dibuang ke lautan, agar tidak pernah ditemukan.
Ia adalah pahlawan nasional yang tak punya pusara. Seorang pejuang kemerdekaan, yang ironisnya, justru menjadi korban dari ganasnya revolusi kemerdekaan itu sendiri. Kisah “Si Jalak Harupat” adalah prinsip paling menyakitkan tentang ironi sejarah. Tentang bagaimana seorang pahlawan bisa dengan mudah dilenyapkan, bukan karena musuh yang dihadapinya, tetapi oleh saudara sebangsa yang tak suka pda pendiriannya.
Otto mungkin tidak punya makam di dunia, tapi namamu terukir abadi dalam arsip perjuangan bangsa ini. Lautan mungkin telah mengambil jasadmu, tapi ia tak akan pernah bisa menenggelamkan warisan keberanianmu.
Penulis: Vian Himaturraihan, Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Tangerang











