Ultimatum Remidium vs Premium Remidium, Mana yang Lebih Baik untuk Pemberantasan Kasus Korupsi?

Avatar photo
Kejagung kembali tetapkan dua tersangka baru kasus korupsi timah ...
Gambar Tersangka Kasus Korupsi PT. Timah (Dok. Antaranews.com 2024)

NASIONALISME.NET, Serang — Tahun 2024 lalu, publik dibuat geger dengan ditemukannya kasus yang menjadi kasus korupsi terbesar di Indonesia. PT. Timah dengan peringkat teratas kasus korupsi berhasil membuat kerugian negara hingga 300 Triliun. PT. Timah menjadi salah satu bukti dari sekian banyak bukti bahwa penegakan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) masih cukup lemah sehingga tidak sedikit dari petinggi perusahaan yang juga masyarakat tidak segan-segan melakukan korupsi dalam jumlah kecil ataupun fantastis.

sebelumnya, publik juga sudah dibuat gempar dengan ditemukan kasus korupsi yang sangat membuat publik geram. Kasus korupsi proyek e-KTP yang menjerat Setya Novanto menjadi salah satu contoh nyata pelanggaran hukum dalam ranah Hukum Administrasi Negara (HAN). Saat menjabat sebagai Ketua DPR RI, Setya Novanto diduga menyalahgunakan kewenangannya untuk mengatur pembagian proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) senilai Rp 5,9 triliun. Berdasarkan hasil penyelidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novanto menerima keuntungan sebesar USD 7,3 juta dari proyek tersebut.

Tindakan ini tidak hanya melanggar hukum pidana korupsi, tetapi juga menunjukkan penyimpangan terhadap prinsip-prinsip dasar HAN, yaitu penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, transparan, dan bebas dari penyalahgunaan wewenang. Sebagai pejabat publik, Novanto seharusnya menggunakan jabatannya untuk kepentingan negara, bukan memperkaya diri. Pada tahun 2018, Pengadilan Tipikor memvonisnya 15 tahun penjara, denda Rp 500 juta, dan kewajiban mengembalikan uang pengganti sebesar USD 7,3 juta. Kasus ini menjadi bukti konkret bahwa pelanggaran terhadap etika dan kewenangan administrasi dapat berujung pada tindak pidana korupsi, sekaligus menjadi pelajaran penting dalam penerapan Hukum Administrasi Negara di Indonesia.

Gambar Penangkapan Setya Novanto (Dok. Kompas.com 2017)

Masyarakat awam pun juga pada akhirnya semakin kehilangan rasa kepercayaan kepada pemerintah atas maraknya dan semakin meningkatnya kasus korupsi di Indonesia. Perlahan tidak sedikit para akademisi hukum terutama ahli hukum mulai mempertanyakan apakah tindakan yang selama ini sudah dilakukan oleh pemerintah Indonesia apakah sudah benar? atau perlu dilakukan harmonisasi kembali dengan dinamika yang ada sekarang?

Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah seperti keburukan yang mendarah daging di Indonesia. Pemberantasan korupsi sering kali menjadi isu yang menarik untuk dibahas dan memiliki keterkaitan dengan dua asas yang belakangan ini ramai diperbincangkan. Dua asas yang sering menjadi perdebatan ialah Ultimum Remedium dan Premium Remedium.

Asas Ultimum Remedium sendiri merupakan asas yang mengartikan hukum pidana sebaiknya digunakan sebagai upaya terakhir, setelah semua upaya non-pidana (misalnya sanksi administratif atau perdata) telah gagal atau tidak cukup. Sebaliknya, asas Premium Remedium mengandung pengartian bahwa dalam beberapa kasus khususnya kejahatan yang berdampak sangat besar maka hukum pidana dapat digunakan sebagai obat utama, yaitu tidak menunggu dulu penggunaan sanksi yang lebih ringan.

Masyarakat pun bertanya-tanya, manakah yang lebih pantas diterapkan asas Ultimum Remedium atau Premium Remedium? Serta bagaimana efeknya?

Ultimum Remedium

Proses penegakan hukum pidana korupsi sebaiknya melalui urutan secara terstruktur seperti sanksi administratif atau perdata lalu jika tidak berhasil maka dilakukannya sanksi pidana. Kelebihan dari penerapan asas ini iala memberi ruang penyelesaian yang lebih cepat, efisien, dan mungkin lebih restoratif atau preventif. Namun dalam praktik korupsi, aspek seperti kerugian negara yang cepat, modus yang kompleks, dan pelaku yang memiliki akses ke wewenang membuat penggunaan asas ini saja sering tidak memadai atau perlu landasan yang disusun secara matang dan komprehensif.

Premium Remedium

Delik korupsi (termasuk pengadaan barang atau jasa) yang telah diterapkan di Indonesia mendekati Premium Remedium yakni penggunaan sanksi pidana langsung, beban pembuktian yang diperketat, hingga hukuman yang berat sebagai bentuk “kejahatan luar biasa”. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan segala peraturan lainnya cenderung memfavoritkan hukum pidana sebagai pilihan utama (Premium Remedium) daripada terakhir (Ultimum Remedium).

Apa tantangannya?

  1. Ketika pidana diposisikan sebagai upaya utama, ada risiko hak asasi terdakwa dan prinsip keadilan prosedural menjadi tergerus, terutama jika alternatif perdata/administratif belum dicoba atau dijalankan sepenuhnya.
  2. Pembedaan antara “kejahatan luar biasa” dan “kejahatan biasa” sering tidak jelas, sehingga penentuan kapan Premium Remedium dipakai bisa subjektif atau disalah gunakan oleh pihak-pihak tertentu.
  3. Efektivitas penyidikan dan pemulihan kerugian negara masih terkendala sarana, bukti, dan kompetensi.

Umumnya dari kedua asas memiliki cita-cita hukum yang sama yaitu ingin menindas segala bentuk tindak pidana korupsi di Indonesia tanpa terkecuali. Namun penerapan asas-asas ini tidak bisa semata-mata diterapkan tanpa pertimbangan dan prosedur pengujian yang panjang sehingga pemerintah harus bisa memikirkan matang-matang dalam perumusan segala landasan guna menindas tegas tindak pidana korupsi di Indonesia kedepannya.

Penulis: Muhammad Zacky Ramadhani Nurhan, Univeristas Pamulang, Fakultas Hukum, Ilmu Hukum.