NASIONALISME.NET, JAKARTA — Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena childfree atau keputusan untuk tidak memiliki anak telah menjadi salah satu topik yang hangat diperbincangkan, khususnya di kalangan Generasi Z. Tidak sedikit dari mereka yang secara terbuka menyatakan tidak ingin memiliki anak di masa depan.
Meskipun keputusan ini bersifat personal, tetap penting untuk menelaahnya secara lebih luas berdasarkan data yang kredibel, bukan hanya opini semata.
Berdasarkan survei Pew Research Center pada tahun 2021, sekitar 44% orang dewasa di Amerika Serikat yang belum memiliki anak mengatakan bahwa mereka tidak mungkin ingin menjadi orang tua di masa depan.
Sementara itu, dalam laporan The Harris Poll yang dikutip oleh Business Insider, disebutkan bahwa alasan utama kaum muda memilih childfree adalah faktor keuangan, ketidakpastian dunia, dan krisis iklim.
Data ini mencerminkan bahwa keputusan tersebut tidak hanya didasarkan pada gaya hidup individualistis, namun juga berkaitan erat dengan kekhawatiran terhadap kondisi global dan masa depan anak-anak itu sendiri.
Di Indonesia, fenomena ini juga mulai terlihat. Hasil survei Populix tahun 2022 menunjukkan bahwa sekitar 25% responden dari kalangan Gen Z dan milenial menyatakan mempertimbangkan untuk tidak memiliki anak.
Alasan mereka bervariasi, mulai dari ingin fokus pada karier, kebebasan pribadi, hingga ketakutan akan tanggung jawab besar sebagai orang tua. Fakta ini mengindikasikan adanya pergeseran nilai dalam masyarakat, di mana menjadi orang tua tidak lagi dianggap sebagai tujuan hidup utama yang wajib dipenuhi.
Sebagian masyarakat mungkin memandang pilihan childfree sebagai bentuk penolakan terhadap nilai-nilai tradisional. Namun, penting untuk diingat bahwa setiap generasi menghadapi tantangan yang berbeda.
Gen Z tumbuh dalam era krisis iklim, tekanan ekonomi, dan ekspektasi sosial yang tinggi. Oleh karena itu, keputusan untuk childfree justru dapat dilihat sebagai bentuk kesadaran terhadap realitas dan keterbatasan.
Pilihan childfree juga menunjukkan bahwa narasi keluarga sedang bergeser. Jika sebelumnya keluarga ideal selalu melibatkan pasangan dan anak-anak, kini keluarga bisa bermakna lebih fleksibel—bahkan bisa hanya terdiri dari individu yang merasa utuh dengan dirinya sendiri.
Ini sejalan dengan pandangan dalam psikologi positif, yang menekankan pentingnya makna hidup dan kesejahteraan individu sebagai tolok ukur kebahagiaan.
Namun, kita juga perlu menyadari bahwa tren childfree dapat berdampak terhadap struktur demografis suatu negara. Penurunan angka kelahiran, jika terjadi secara signifikan, bisa menyebabkan masalah jangka panjang seperti populasi menua dan beban ekonomi yang berat pada generasi muda.
Oleh karena itu, pemerintah dan masyarakat perlu menyikapi fenomena ini secara bijak—bukan dengan menstigma mereka yang childfree, melainkan dengan menyediakan lingkungan yang mendukung pilihan reproduksi yang sehat dan sadar.
Pada akhirnya, keputusan untuk memiliki anak atau tidak adalah hak pribadi setiap individu. Gen Z dengan segala keragaman pandangannya, sedang mengajukan pertanyaan besar: apakah menjadi orang tua adalah panggilan hati, atau sekadar tekanan budaya? Pertanyaan ini layak kita renungkan bersama, sebagai bagian dari proses menjadi masyarakat yang lebih inklusif dan menghargai pilihan hidup yang berbeda.
Penulis: Ghina Salsabila Chandra
Editor: Erna Fitri, Tim NASIONALISME.net