Hukum Humaniter Internasional sebagai Alat Perlindungan Anak dalam Situasi Konflik

  • Bagikan
Dokumentasi Hani Mohammed/AP Photo

NASIONALISME.NET, MALANG — Perang atau konflik bersenjata bukanlah situasi yang aman bagi anak-anak. Dalam kondisi tersebut, anak-anak sering kali menjadi korban penderitaan, terutama karena tidak terpenuhinya hak-hak dasar mereka, seperti hak untuk hidup dan hak untuk tumbuh kembang di lingkungan yang aman dan mendukung.

Oleh karena itu, sudah seharusnya anak-anak mendapatkan perlindungan dari segala bentuk kekerasan yang terjadi akibat perang, baik secara fisik maupun dalam bentuk kepastian hukum. Berdasarkan kesadaran ini, lahirlah aturan khusus yang dikenal sebagai Hukum Humaniter, yang bertujuan memberikan perlindungan dalam situasi konflik bersenjata.

Masalah keterlibatan anak-anak dalam konflik bersenjata merupakan isu yang sudah berlangsung lama dan hingga kini masih menjadi tantangan besar. Dalam perspektif Hukum Humaniter, keterlibatan anak dalam perang atau konflik bersenjata dianggap sebagai tindakan yang melanggar prinsip dan aturan hukum tersebut. Hukum Humaniter secara tegas melarang penggunaan anak-anak dalam perang dan mengupayakan perlindungan mereka dari dampak buruk konflik.

Anak-anak yang dilibatkan dalam peperangan sering kali memiliki peran yang luas dan beragam. Mereka tidak hanya dipaksa untuk bertempur sebagai prajurit, tetapi juga menjalankan berbagai tugas lain yang mendukung operasi perang.

Misalnya, mereka digunakan sebagai mata-mata untuk mengumpulkan informasi, kurir untuk mengirim pesan, atau penjaga di lokasi tertentu. Selain itu, mereka juga sering kali dipaksa melakukan pekerjaan kasar, seperti perburuhan paksa, atau menjadi korban perbudakan, termasuk perbudakan seksual.

Lebih tragis lagi, dalam beberapa kasus, anak-anak digunakan sebagai perisai manusia untuk melindungi pasukan dari serangan musuh, atau dimanfaatkan untuk tujuan intelijen, seperti memberikan informasi terkait wilayah musuh atau strategi tertentu.

Peran-peran ini tidak hanya menempatkan anak dalam bahaya besar, tetapi juga melanggar hak asasi mereka secara mendalam, menciptakan trauma fisik dan psikologis yang berkepanjangan. Praktik semacam ini dilarang keras oleh Hukum Humaniter Internasional karena bertentangan dengan prinsip-prinsip perlindungan anak dalam situasi konflik bersenjata.

Perekrutan anak-anak menjadi tentara merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia dan prinsip-prinsip kemanusiaan. Anak-anak berhak untuk tumbuh dalam lingkungan yang aman, mendapatkan pendidikan, dan berkembang tanpa terpapar kekerasan.

Melibatkan mereka dalam konflik bersenjata tidak hanya menghalangi hak-hak tersebut, tetapi juga menyebabkan kerusakan fisik dan psikologis yang berat, yang dapat memengaruhi mereka seumur hidup. Secara internasional, berbagai konvensi telah disepakati untuk melarang perekrutan anak-anak, seperti Konvensi PBB tentang Hak Anak (1989), yang mengharuskan perlindungan terhadap anak-anak dari keterlibatan dalam perang.

Adapun Prinsip utama dalam Hukum Humaniter Internasional adalah distinction principle (prinsip pembedaan). Dalam suatu sengketa bersenjata, golongan penduduk terbagi dalam dua bagian, yaitu kombatan (combatant) dan penduduk sipil (civillan). Pembedaan ini bertujuan untuk mengetahui kelompok mana yang ikut secara langsung dalam peperangan agar dengan jelas mana yang boleh dijadikan sasarang perang dan siapa saja yang tidak ikut serta dalaam peperangan sehingga tidak boleh dijadikan sasaran perang.

Perlindungan Anak dalam Konflik

Anak-anak yang berada di zona konflik sangat rentan terhadap berbagai bentuk eksploitasi dan kekerasan. Mereka bisa direkrut menjadi tentara atau terlibat dalam aktivitas militer lainnya, yang sering kali melibatkan pemaksaan atau manipulasi. Selain itu, anak-anak sering menjadi korban langsung dari kekerasan fisik, psikologis, atau seksual dalam situasi perang. Dalam beberapa konflik bersenjata, anak-anak direkrut secara paksa atau sukarela untuk menjadi tentara, yang membahayakan kesejahteraan fisik dan mental mereka. Mereka juga sering menjadi sasaran kekerasan yang mencakup pembunuhan, penyiksaan, dan eksploitasi seksual, serta terancam hidupnya akibat serangan terhadap wilayah sipil dan pemindahan paksa.

Dok: Photo circulated on social media

Untuk melindungi anak-anak dalam situasi ini, dasar hukum yang penting adalah Konvensi Hak Anak (CRC), yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1989, dan Protokol I tambahan pada Konvensi Genewa (1977). Konvensi ini menegaskan hak anak untuk dilindungi dari segala bentuk kekerasan dan eksploitasi, termasuk dalam konteks konflik bersenjata.

Protokol I, khususnya Pasal 77, melarang penggunaan anak-anak yang belum berusia 15 tahun dalam konflik bersenjata dan memastikan mereka tidak terlibat dalam aksi militer. Meskipun kedua dasar hukum ini memberikan kerangka perlindungan, implementasi dan penegakan hukum tersebut tetap menjadi tantangan besar di lapangan.

Perlindungan Hukum Humaniter Terhadap Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata Internasional

Pada masa konflik, hukum humaniter internasional memberikan perlindungan umum kepada anak-anak, sebagai warga sipil yang tidak terlibat dalam permusuhan, dan perlindungan khusus, sebagai individu yang sangat rentan dan tidak bersenjata. Mereka berhak atas bantuan materi khusus dan perlindungan yang lebih baik.

Hukum Humaniter Internasional (HHI) secara eksplisit mengatur perlindungan anak-anak dalam situasi konflik bersenjata melalui berbagai pasal dalam Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahannya:

1. Konvensi Jenewa IV (1949) tentang Perlindungan Penduduk Sipil dalam Masa Perang

  • Pasal 24: Anak-anak yang terpisah dari keluarganya atau yang menjadi yatim piatu akibat konflik harus diberikan perhatian dan perlindungan khusus. Mereka harus diupayakan untuk dirawat dan ditempatkan dalam lingkungan aman.
  • Pasal 38: Anak-anak yang menjadi bagian dari populasi sipil berhak memperoleh perlakuan yang sama dengan perlindungan terhadap warga sipil lainnya, termasuk akses ke pendidikan dan kebutuhan hidup dasar.
  • Pasal 50: Melarang tindakan yang menghalangi pendidikan anak-anak di wilayah pendudukan, serta memastikan pendidikan berlangsung sesuai dengan keyakinan agama dan budaya anak.

2. Protokol Tambahan I (1977) tentang Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Internasional

  • Pasal 77 ayat (1): Anak-anak harus mendapatkan perlindungan khusus terhadap segala bentuk bahaya dalam situasi konflik bersenjata.
  • Pasal 77 ayat (2): Dilarang merekrut anak-anak di bawah usia 15 tahun untuk berpartisipasi langsung dalam permusuhan. Jika anak-anak di bawah usia tersebut ikut terlibat, mereka tetap harus diprioritaskan untuk dilindungi.
  • Pasal 77 ayat (3): Jika anak-anak di bawah usia 15 tahun ditangkap, mereka tetap memiliki hak untuk mendapatkan perlakuan yang manusiawi, pendidikan, dan akses terhadap keluarga.

3. Protokol Tambahan II (1977) tentang Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Non-Internasional

  • Pasal 4 ayat (3): Memberikan perlindungan khusus kepada anak-anak dalam konflik bersenjata non-internasional, termasuk larangan perekrutan anak-anak di bawah usia 15 tahun untuk terlibat dalam permusuhan. Anak-anak harus memperoleh pendidikan, perawatan medis, dan bantuan kemanusiaan tanpa diskriminasi.
  • Pasal 4 ayat (3)(c): Melarang tindakan seperti mutilasi, eksploitasi seksual, dan bentuk kekerasan lainnya terhadap anak-anak.

4. Konvensi Hak Anak (1989) dan Protokol Opsionalnya

  • Pasal 38 Konvensi Hak Anak: Negara-negara yang terlibat konflik diwajibkan untuk menghormati hukum humaniter internasional, khususnya dengan melarang perekrutan dan penggunaan anak-anak dalam konflik bersenjata.
  • Protokol Opsional Konvensi Hak Anak (2000): Melarang secara tegas perekrutan wajib militer anak di bawah usia 18 tahun, serta memastikan perlindungan khusus terhadap anak-anak dari dampak buruk konflik.

Perlindungan anak dalam hukum humaniter internasional (HHI) memegang peran yang sangat penting dalam menjaga hak-hak dasar anak-anak yang terperangkap dalam konflik bersenjata. HHI telah mengatur berbagai mekanisme yang bertujuan untuk melindungi anak dari kekerasan, eksploitasi, perekrutan paksa sebagai tentara, dan berbagai bentuk penyalahgunaan lainnya.

Namun, tantangan besar masih ada dalam implementasi perlindungan ini di lapangan, seperti ketidakpastian mengenai pelaksanaan hukum, kurangnya sumber daya untuk menegakkan hak-hak anak, serta ketegangan antara pihak yang berkonflik. Oleh karena itu, penegasan perlindungan anak dalam HHI sangat penting dan harus diperkuat. Untuk itu, perlu adanya penguatan kapasitas hukum internasional, peningkatan kerjasama antar negara, serta komitmen yang lebih besar untuk memastikan bahwa anak-anak selalu dilindungi, bahkan dalam situasi yang paling sulit sekalipun.

Penulis: Bilqis Khumairoh, Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang

Editor: Erna Fitri, Tim NASIONALISME.net

Penulis: Bilqis KhumairohEditor: Nur Ardi
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *