NASIONALISME.NET, JAKARTA — Demokrasi di Indonesia telah mengalami berbagai dinamika sejak Reformasi 1998 yang menandai berakhirnya era Orde Baru dan membuka jalan bagi sistem pemerintahan yang lebih terbuka. Saat itu, publik menaruh harapan besar terhadap kehidupan politik yang lebih transparan, partisipatif, dan menjunjung tinggi kebebasan sipil. Reformasi menghadirkan berbagai perubahan penting seperti pemilihan umum langsung, kebebasan pers, pembentukan lembaga independen, serta peran aktif masyarakat sipil dalam mengawal kebijakan negara. Namun, dua dekade setelahnya, arah perkembangan demokrasi Indonesia justru menuai perdebatan. Berbagai regulasi dan tindakan negara mulai dinilai membatasi ruang kebebasan dan mempersempit ruang publik untuk menyampaikan kritik.
Salah satu indikator yang menggambarkan kemunduran demokrasi di Indonesia dapat dilihat dari laporan The Economist Intelligence Unit (EIU) dalam Democracy Index 2023, di mana Indonesia hanya mendapatkan skor 6,53 dan dikategorikan sebagai “flawed democracy” atau demokrasi cacat. Ini mencerminkan bahwa meskipun pemilu berjalan secara prosedural, kualitas institusi, akuntabilitas pemerintahan, partisipasi publik, dan perlindungan terhadap hak-hak sipil masih lemah. Di tingkat nasional, Lembaga Survei Indonesia (LSI) mencatat bahwa hanya 58,3% masyarakat merasa puas terhadap jalannya demokrasi pada tahun 2023, menurun dari 6,71% pada tahun 2021 sampai 2022.
Salah satu masalah utama yang mencuat adalah pembatasan terhadap kebebasan sipil melalui regulasi yang multitafsir. UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) misalnya, kerap digunakan untuk membungkam kritik terhadap pemerintah. Laporan SAFEnet tahun 2023 mencatat 60 kasus kriminalisasi warga yang menyuarakan pendapat secara daring, termasuk aktivis dan jurnalis. Di sisi lain, revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2019 mengurangi independensi lembaga tersebut. Sejak revisi itu, efektivitas pemberantasan korupsi menurun drastis, terlihat dari skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia yang turun dari 40 pada 2021 menjadi 34 pada 2023 menurut Transparency International.
Demokrasi Indonesia juga dibayangi oleh politik dinasti dan praktik politik uang yang mempersempit ruang partisipasi politik yang adil. Berdasarkan laporan Indonesia Corruption Watch (ICW), terdapat sedikitnya 124 calon kepala daerah pada Pilkada 2020 yang memiliki hubungan darah dengan elite politik. Ini menunjukkan bahwa kekuasaan politik masih banyak dikendalikan oleh lingkaran sempit. Di sisi lain, praktik politik uang terus merajalela. Bawaslu mencatat ribuan laporan dugaan politik uang dalam Pemilu 2024, yang memperlihatkan bahwa proses demokrasi masih belum bebas dari transaksionalisme.
Kendati demikian, harapan akan masa depan demokrasi di Indonesia belum sepenuhnya padam. Kebangkitan kesadaran politik generasi muda, serta meningkatnya partisipasi masyarakat dalam berbagai gerakan sosial, menjadi sinyal positif. Gerakan mahasiswa dalam aksi #ReformasiDikorupsi pada 2019, kampanye digital di media sosial, serta munculnya berbagai kanal jurnalisme warga menjadi bentuk baru dari keterlibatan masyarakat dalam demokrasi. Selain itu, organisasi masyarakat sipil seperti ICW, KontraS, dan WALHI tetap memainkan peran penting dalam mengawal kebijakan publik dan memperjuangkan hak-hak warga negara.
Tantangan ke depan adalah memastikan bahwa negara benar-benar hadir untuk menjamin hak konstitusional rakyat, bukan justru membatasi. Pendidikan politik, literasi digital, dan penguatan kelembagaan menjadi kunci penting untuk memperkuat demokrasi. Negara harus memperbaiki sistem hukum agar tidak menjadi alat represi, serta mendorong reformasi politik yang lebih partisipatif dan adil. Kesadaran akan pentingnya demokrasi juga harus dipupuk sejak dini agar masyarakat dapat menjadi pengawas aktif dan tidak mudah dimanipulasi oleh kekuatan politik pragmatis.
Maka dari itu, masa depan demokrasi Indonesia sangat bergantung pada pilihan-pilihan kebijakan yang diambil hari ini. Apakah pemerintah dan institusi negara akan memperluas ruang partisipasi dan memperkuat institusi penegak hukum, atau justru terus memperkuat kontrol dan membatasi kritik. Jika komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi dapat dijaga dan diperkuat, maka Indonesia masih memiliki peluang besar untuk membangun demokrasi yang lebih matang dan inklusif. Sebaliknya, jika tren pembatasan dan pelemahan institusi terus dibiarkan, maka bukan tidak mungkin demokrasi kita akan mengalami kemunduran yang lebih dalam. Oleh karena itu, menjaga demokrasi bukan hanya tugas negara, melainkan juga tanggung jawab kolektif seluruh elemen masyarakat.
Sumber
Suryahani, I., Nurhayati, N., & Gunawan, E. R. S. (2024). Buku Referensi Dinamika Global Perekonomian Indonesia. PT. Sonpedia Publishing Indonesia.
https://images.app.goo.gl/bK1zqFyiee4xEa9f9
Afifuddin, M. (2020). Membumikan Pengawasan Pemilu: mozaik pandangan dan catatan kritis dari dalam. Elex Media Komputindo.
Penulis: Siti Nur Kholisa Daulay, Mahasiswa Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri Jakarta
Editor: Erna Fitri, Tim NASIONALISME.net