NASIONALISME.NET — Lingkungan kampus sudah seharusnya menjadi tempat yang aman bagi seluruh civitas akademika seperti mahasiswa, dosen, dan staff untuk belajar dan bekerja. Akan tetapi, pelecehan seksual atau sexual harassment di lingkungan kampus masih menjadi isu yang terus diperbincangkan dan seringkali korban enggan untuk melaporkan padahal di setiap kampus terdapat tim satgas PPKS (Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual).
Pelecehan seksual tidak hanya berdampak buruk terhadap mental dan psikis korban, akan tetapi juga akan merusak citra atau nama insitusi pendidikan. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah untuk meningkatkan kewaspadaan dan menciptakan lingkungan kampus yang bebas dari kekerasan seksual.
Komisioner Komnas Perempuan menyatakan bahwa Kekerasan berbasis gender terhadap perempuan di lingkungan pendidikan paling banyak terjadi di perguruan tinggi. Terdapat 67 kasus kekerasan terhadap perempuan di lingkungan pendidikan. Yakni kekerasan seksual sebanyak 87,91%, psikis dan diskriminasi 8,8%.
Lalu, kekerasan fisik yakni 1,1 %. Perguruan tinggi menempati urutan pertama untuk kekerasan seksual di lingkungan pendidikan dengan 35 kasus pada tahun 2015 hingga 2021. Kekerasan seksual di lingkungan pendidikan seringkali mengalami hambatan di dalam keadilan maupun pemulihan bagi para korban. Hal itu disebebkan karena adanya relasi kuasa yang kuat dari para pelaku. Kemudian, di sisi yang lain masyarakat bahkan lebih mempercayai seseorang yang memiliki otoritas keilmuan maupun keagamaan dibandingkan dengan korban.
Pelecehan seksual mencakup berbagai tindakan yang tidak diinginkan seperti komentar bernada seksual, cat calling, pelecehan fisik, hingga ancaman dalam konteks seksual. Di lingkungan kampus sendiri, hal ini dapat terjadi antara mahasiwa, antara dosen dengan mahasiswa atau antara staff. Kurangnya pemahaman mengenai bentuk-bentuk pelecehan sering membuat pelaku tidak tersentuh hukum dan korban memilih diam karena takut dan malu.
Pelaporan pelecehan seksual sering mengalami hambatan seperti lambatnya respons dari insitusi pendidikan dalam menangani kasus-kasus kekerasan seksual lantaran demi menjaga nama baik lembaganya semakin membuat korban tidak berdaya. Hambatan-hambatan itu kerap membuat korban kekerasan seksual di lingkungan kampus tidak dipercaya ketika bersuara tentang apa yang dialaminya.
Dewan Pengarah Asosiasi Pengajar dan Peminat Hukum Berspektif Gender Indonesia (APPHGI) menyatakan bahwa banyak kendala terkait lemahnya penanganan kasus kekerasan maupun pelecehan seksual di Perguruan Tinggi. Kendala itu mulai dari relasi kuasa pelaku hingga minimnya akses terhadap pemulihan dan penanganan psikologis korban.
Lebih parahnya lagi, masih terdapat kampus yang menutup-nutupi kasus kekerasan seksual untuk melindungi nama baik kampusnya. Kampus sebagai lembaga pendidikan yang seharusnya mencetak sumber daya manusia yang unggul untuk Indonesia yang lebih baik tidak sepatutnya menutupi kasus kekerasan seksual. Hal ini akan dinilai sebagai upaya kampus untuk melindungi pelaku.
Yang diperlukan adalah adanya pernyataan dari pelaku terhadap publik agar terkena sanksi sosial atau bahkan jerat hukum jika diperlukan. Selain itu, kampus juga perlu memberikan klarifikasi kepada publik untuk menjelaskan sejujur-jujurnya mengenai kronologis dan tindakan tegas terhadap kekerasan seksual pelaku kepada korban.
Sudah sepantasnya, segala hal yang berkaitan dengan korban baik itu kesehatan maupun identitas korban harus dilindungi. Penanganan trauma yang timbul akibat kekerasan seksual membutuhkan waktu yang cukup lama. Korban memerlukan tempat yang aman dan nyaman selama masa pemulihan. Dalam proses penangannnya juga, sebaiknya tidak terlalu membahas kasus yang sedang dialami agar tidak menimbulkan beban psikologis yang justru dapat menghambat korban untuk sembuh dari rasa trauma.
Apabila penanganan dari kampus masih kurang memadai, kini ada sosial media yang dapat digunakan sebagai media bersuara. Efek dari suara di media sosial sangat luar biasa. Proses perpindahan informasi sangat cepat diterima oleh masyarakat digital. Tidak ada salahnya untuk bersuara di sosial media selama kebenaran informasi mengenai kronologis peristiwa dijelaskan sejujur-jujurnya. Walaupun tanpa menggunakan identitas pribadi yang benar.
Jangan pernah sekali-kali membiarkan pelaku masih hidup bebas tanpa adanya pertanggungjawaban serta itikad baik dari pelaku. Sekali lagi, korban tidak perlu takut terhadap pelaku dengan latar belakang apapun, karena yakinlah kebenaran akan selalu mennag sekalipun terdapat rintangan yang dihadapi.
Kekerasan seksual di kampus merupakan salah satu kejatan yang harus diberantas. Diperlukan keterlibatan seluruh pihak untuk turut melakukan pencegahan kekerasan seksual di lingkungan kampus. Adanya kesadaran dari dalam diri masing-masing mengenai dampak yang ditimbulkan sangat diperlukan agar angka kekerasan seksual di lingkungan kampus dapat menurun atau bahkan tidak ada lagi.
Mewujudkan lingkungan kampus yang aman dan nyaman untuk menuntut ilmu menjadi tujuan seluruh civitas akademika agar Indonesia dapat menjadi negara yang memiliki sumber daya manusia yang unggul dan bermoral.
Oleh : Annisa Tazqia Hazima
Editor: Erna Fitri, Tim NASIONALISME.net