Takut Ketinggalan Trend? FOMO Bikin Remaja Selalu Gelisah

  • Bagikan

NASIONALISME.NET — Di dunia digital yang serba cepat ini, istilah FOMO atau Fear of Missing Out kini sudah sering kita dengar, terutama bagi remaja yang tumbuh di era media sosial.

Seperti yang disampaikan Bobby Mook, mahasiswa dari Chapel Hill, “FOMO adalah akronim untuk Fear of Missing Out (takut ketinggalan). Ini bukanlah pengalaman baru bagi kita, namun masyarakat saat ini memiliki banyak saluran daripada sebelumnya yang menumbuhkan rasa takut ini. Namun, itu tidak menjadi hal yang buruk. Bila kita mengenalinya dan memahaminya, ia dapat membimbing kita”.

Biasanya FOMO membuat seseorang takut ketinggalan pada tren, informasi, atau berita. Awalnya mungkin hanya ikut-ikutan, namun bisa berlanjut ke kecemasan sosial, overthinking, hingga stres.

Media sosial adalah penyebab utamanya. Scroll sebentar saja, kita bisa melihat teman yang liburan, ikut acara kekinian, atau pamer barang terbaru. Tanpa sadar, muncul pertanyaan dalam hati: “Kok aku nggak ada di sana juga, ya?”

Pernah nggak kamu ngerasa nggak nyambung cuma karena belum nonton series yang semua orang omongin? Atau pura-pura ngerti tren TikTok biar nggak dibilang kudet?

Inilah awal dari FOMO.

Tapi apakah FOMO selalu buruk? Jawabannya: tidak juga. Terkadang FOMO bisa membuat kita termotivasi untuk menjadi lebih aktif, produktif, berkembang, dan tidak ketinggalan informasi penting. Misalnya, ketika melihat teman ikut webinar pengembangan diri, kita jadi termotivasi juga untuk belajar. Dalam kasus ini, FOMO punya sisi positif sebagai pemacu untuk terus bergerak.

Namun, masalahnya adalah ketika FOMO membuat remaja merasa “harus” ikut semua tren agar dianggap eksis. Akhirnya, mereka memaksakan dirinya baik secara emosional maupun finansial. Ada yang rela beli barang branded demi konten, ikut tren meski bertentangan dengan nilai diri, bahkan merasa rendah diri kalau tidak update.

Menurut laporan We Are Social (2024), 74,8% remaja usia 16–24 tahun di Indonesia menggunakan media sosial, menunjukkan tingginya potensi paparan FOMO.

Psikolog Dr. Sherry Turkle juga menjelaskan bahwa media sosial menciptakan ilusi kedekatan dan koneksi, padahal justru bisa membuat penggunanya merasa kesepian. “Kita terus-menerus terkoneksi, tapi sering kali kehilangan percakapan yang nyata,” ungkapnya dalam salah satu diskusi publiknya.

Jadi, FOMO itu wajar, tapi kita harus tau itu ada batasnya. Kita tidak perlu selalu ikut-ikutan hanya demi validasi dari orang lain. Yang paling penting adalah menjalani hidup sesuai nilai diri, bukan sekadar “biar nggak ketinggalan.”

Remaja perlu didorong untuk sadar bahwa apa yang mereka lihat di media sosial hanyalah bagian terbaik saja dari hidup orang lain, bukan kenyataan utuh. Edukasi tentang kesehatan mental dan literasi digital bisa jadi cara terbaik untuk membekali mereka agar tidak terjebak dalam tekanan sosial digital yang palsu.

Yuk, mulai sadar dan bijak dalam bermedia sosial. Nggak semua yang viral harus kita ikuti.

Penulis: Ilham Al Fajri, Mahasiswa Prodi Akuntansi, Universitas Bangka Belitung.

 

Editor: Erna Fitri, Tim NASIONALISME.net

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *